a.
Pengertian
Syadz
Kata
Syadz secara bahasa adalah kata benda yang berbentuk isim fa’il
yang berarti “sesuatu yang menyendiri”. Menurut mayoritas ulama, kata Syadz
bermakna : “yang menyendiri”.
Adapun
secara istilah, menurut Ibnu Hajar, hadits Syadz adalah “hadits yang
diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya yang bertentangan dengan perawi yang
lebih terpercaya”. Bisa karena perawi yang lebih terpercaya tersebut lebih kuat
hafalannya, lebih banyak jumlahnya, atau karena sebab-sebab lain yang membuat
riwayatnya lebih dimenangkan, seperti karena jumlah perawi dalam sanadnya lebih
sedikit.
Di antara pendapat ulama tentang syaz adalah :
- Hadis yang diriwayatkan oleh orang yang siqah, tetapi riwayatnya bertentangan dengan periwayat yang dikemukakan oleh orang banyak periwayat yang sama-sama siqah. Pendapat ini dikemukakan oleh imam Syafi’i.
- Hadis yang diriwayatkan oleh orang yang siqah, tetapi orang-orang yang siqah lainnya tidak meriwayatkan hadis itu. Pendapat ini dikemukakan oleh al-Hakim al-Naisaburi.
- Hadis yang sanadnya hanya satu buah saja, baik periwayatnya bersifat siqah atau tidak. Pendapat ini dikemukakan Abu Ya’la al-Khalili.
Dari ketiga pendapat itu, maka pendapat Syafi’i lebih banyak di pakai oleh
ulama ahli hadis sampai saat ini. Berdasarkan pendapat Syafi’i tersebut, maka
dapat ditegaskan bahwa kemungkinan suatu sanad menggandung syaz
bila sanad yang diteliti lebih dari satu buah. Hadis yang hanya memiliki
satu buah sanad saja tidak dikenal adanya kemungkinan mengandung syad.
Salah satu langkah penelitian yang sangat penting untuk meneliti kemungkinan
adanya syad suatu sanad hadis ialah dengan membanding-bandingkan
semua sanad yang ada untuk matan yang topik pembahasannya sama
atau memiliki segi kesamaan.
b.
Pengertian
Sanad
Kata sanad atau as-sanad menurut bahasa, dari sanada,
yasnudu yang berati mutamad (sandaran/tempat bersandar, tempat berpegang, yang
dipercaya atau yang sah). Dikatakan demikian karena, karena hadist itu
bersandar kepadanya dan dipegangi atas kebenaranya.
Secara temionologis,difinisi sanad iyalah : ” silsilah orang-orang yang mehubungkan kepada matan hadis”.
Secara temionologis,difinisi sanad iyalah : ” silsilah orang-orang yang mehubungkan kepada matan hadis”.
Silsilah orang maksudnya, ialah susunan atau rangkaian orang-orang yang meyampaikan materi hadis tersebut, sejak yang disebut pertama sampai kepada Rasul SAW, yang perbuatan, perkataan, taqrir, dan lainya merupakan materi atau matan hadits. Dengan pegertian diatas maka sebutan sanad hanya berlaku pada serangkaian orang-orang bukan dilihat dari sudut pribadi secara perorangan.
Artinya:
“Dikhabarkan kepada kami oleh Malik yang menerimanya dari Nafi, yang menerimanya dari Abdullah ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah sebagian dari antara kamu membeli barang yang sedang dibeli oleh sebagian yang lainnya. ” (Al-Hadis)
“Dikhabarkan kepada kami oleh Malik yang menerimanya dari Nafi, yang menerimanya dari Abdullah ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah sebagian dari antara kamu membeli barang yang sedang dibeli oleh sebagian yang lainnya. ” (Al-Hadis)
Dalam hadis tersebut dinamakan sanad adalah:
(Dikhabarkan kepada kami oleh Malik yang menerimanya dari nafi yang menerimanya dari Abdullah ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda:…)
c.
Pengertian Matan
Matan dari segi
bahasa artinya membelah, mengeluarkan, mengikat. Sedangkan menurut istilah ahli
hadis, matan yaitu:
(perkataan yang disebut pada akhir sanad, yakni sabda Nabi SAW yang disebut sesudah habis disebutkan sanadnya) .
Yang dimaksud
dengan matan Hadist ialah pembicaraan (kalam) atau materi berita yang di over
oleh sanad yang terakhir. Baik pembicaraan itu sabda Rasulullah S.A.W. shahabat
ataupun tabi`in. Baik isi pembicaraan itu tentang perbuatan Nabi, maupun
perbuatan shahabat yang tidak disanggah oleh Nabi. Misalnya perkataan sahabat
Anas bin Malik r.a.:
كنا نصلى مع ر
سو ل ا اللة صلعم فى شد ة الحر فاءذا لم يستطىع ا حد نا ان يىمكن جبهته
من
زالارض بسط ثو به فسجد عليه.
“Kami
bersembahyang bersama-sama Rosulullah S.A.W. pada waktu udara sangat panas.
Apabila salah seorang dari kami tak sanggup menekankan dahinya diatas tanah,
maka ia bentangkan pakaiannya, lantas sujud diatasnya.”
Perkataan
Sahabat yang menjelaskan perbuatan salahseorang sahabat yang tidak disanggah
Nabi ( (كنا- فسجد علي disebut Matan hadis.[5]
Contoh matan
hadis sebagai berikut:
عن ابى هر يرة
رضى ا لله عنه قال قال ر سو ل ا لله صلعم : نعمتا ن مغبو ن فيهما كثير
من النا س:ا اصحة و الفراع.(ا لبخا رى)
Yang
bergarisbawah dalam hadist diatas adalah Matan.
Jadi matan bisa disebut dengan lafdul hadist atau
isi dari suatu hadist.
d.
Pengertian Dhabit
Secara harfiah, dhabit mempunyai beberapa arti, diantaranya: yang
kokoh, yang kuat, yang ketat, yang hafal dengan sempurna.
Pengertian tersebut diserap dalam pengertian istilah dengan dihubungkan
dengan kapasitas intelektual. Ulama hadis memang berbeda pendapat dalam memberi
pengertian istilah kata dhabit, namun perbedaan itu dengan memberi
rumusan sebagai berikut:
Periwayat yang bersifat dhabit adalah periwayat yang hafal dengan
sempurna hadis yang diterimanya, dan mampu menyampaikan dengan baik hadis yang
dihafalnya itu kepada orang lain.
Periwayat yang bersifat dhabit adalah sifat selain yang telah
disebutkan di atas, juga dia mampu memahami dengan baik hadis yang dihafalnya
itu.
Rumusan tentang dhabit yang disebutkan pada butir kedua lebih
sempurna dari pada rumusan yang pertama. Rumusan yang pertama merupakan
kriteria sifat dhabit dalam arti yang lebih luas, sedang rumusan yang
kedua merupakan sifat dhabit khusus bagi periwayat dhabit. Selain
kedua hal di atas, dikenal juga istilah khafif al-dhabt, istilah yang
disebutkan terakhir itu bersifatkan kepada periwayat yang kualitas hadisnya
digolongkan kepada hasan.
Ketiga macam dhabit di atas oleh ulama hadis digolongkan pada dhabit
sadr (arti harfiahnya: dabt pada dada). Selain dabt sadr,
dikenal juga istilah dabt kitab, yakni sifat yang dimiliki oleh
periwayat yang memahami dengan sangat baik tulisan hadis yang termuat dalam
kitab yang ada padanya dan tulisan dalam kitab itu mengandung kesalahan.
Adapun pengertian dhabit menurut
istilah, telah dikemukakan oleh ulama dalam berbagai format bahasa, antara lain
sebagai berikut :
- Menurut Ibnu Hajar al-Asqalaniy dan al-Sahawiy yang disebut orang dhabit adalah orang yang kuat hafalannya tentang apa-apa yang didengarnya dan mampu menyampaikan hafalanya itu kapan saja dia menghendakinya.
- Dhabit adalah orang yang mendengarkan pembicaraan sebagaimana seharusnya, dia memahami pembicaraan itu secara benar, kemudian dia menghafalnya dengan sungguh-sungguh dan dia berhasil hafal dengan sempurna, sehingga dia mampu menyampaikan hafalannya itu kepada orang lain dengan baik.
- Dhabit ialah orang yang mendengarkan riwayat sebagaimana seharusnya, dia memahaminya dengan pemahaman yang mendetail kemudian dia menghafalnya dengan sempurna, dan dia meyakini kemampuan yang demikian itu, sedikitnya mulai dari saat mendengar riwayat itu sampai dia menyampaikan riwayat tersebut kepada orang lain.
e.
Pengertian Siqah
Tsiqah berasal
dari kata kerja watsiqa yatsiqu yang berarti “mengikat, meneguhkan dan
mempercayai (orang lain dalam memegang amanat).” Dari kata ini, lahir kata
mitsaq yang bermakna “ikatan perjanjian yang sangat kokoh.” Seorang laki-laki
(atau perempuan) tsiqat artinya “orang yang kokoh dan terpercaya dalam memegang
amanat”.( ) Jadi tersimpan kesan hiperbolik dalam makna etimologis kata ini,
yakni bukan hanya sekedar “terpercaya”, melainkan “sangat terpercaya”. Oleh
karena itu, sebagian ahli hadits, misalnya Abdurahman bin Mahdi, menempatkan
istilah ini di posisi puncak penilaian terhadap seorang perawi, meskipun
mayoritas ahli hadis tidak mendukung pendapat ini. Ketika ditanya penilaiannya
terhadap Abu Khaldah, “Tsiqat-kah ia?”, Ibn Mahdi menjawab, “Ia orang baik,
jujur dan terpercaya. (Orang yang mencapai derajat) tsiqat hanya Sufyan dan
Syu’bah.”
Secara istilah (terminologis), ahli hadis menggunakan kata ini untuk menunjukkan penilaian baik mereka terhadap orang yang memiliki reputasi kesalehan pribadi (‘adalah) dan sistem dokumentasi (dhabth) yang sempurna. Mereka tidak menerima orang yang hanya memiliki syarat pertama (‘adalah) jika tidak memiliki syarat kedua (dhabth), begitu juga sebaliknya. Kedua syarat ini harus terpenuhi hingga seorang perawi hadis berhak memperoleh predikat tsiqat dari ahli hadis.
Imam Malik berkata, “Aku menemukan di bawah tiang ini (ia menunjuk ke masjid Nabi saw) beberapa syeikh berusia 70-80 tahun, mereka berkata, “Rasulullah Saw bersabda…” namun aku tidak pernah mengambil hadis darinya. Andai salah satu dari mereka dititipkan harta, mereka sangat terpercaya. Namun mereka bukan tokoh ilmu ini (hadis).” Ali bin Al-Madini berkata tentang Hasan bin Abi Ja’far, “Aku meninggalkan hadisnya karena ia memukul ibunya.”
download ebook gratis : https://za.gl/G9YyV8