Danil Fajar
Jumat, 05 Oktober 2018
Jumat, 07 Juni 2013
Istilah Istilah Dalam Ilmu Hadits
a.
Pengertian
Syadz
Kata
Syadz secara bahasa adalah kata benda yang berbentuk isim fa’il
yang berarti “sesuatu yang menyendiri”. Menurut mayoritas ulama, kata Syadz
bermakna : “yang menyendiri”.
Adapun
secara istilah, menurut Ibnu Hajar, hadits Syadz adalah “hadits yang
diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya yang bertentangan dengan perawi yang
lebih terpercaya”. Bisa karena perawi yang lebih terpercaya tersebut lebih kuat
hafalannya, lebih banyak jumlahnya, atau karena sebab-sebab lain yang membuat
riwayatnya lebih dimenangkan, seperti karena jumlah perawi dalam sanadnya lebih
sedikit.
Di antara pendapat ulama tentang syaz adalah :
- Hadis yang diriwayatkan oleh orang yang siqah, tetapi riwayatnya bertentangan dengan periwayat yang dikemukakan oleh orang banyak periwayat yang sama-sama siqah. Pendapat ini dikemukakan oleh imam Syafi’i.
- Hadis yang diriwayatkan oleh orang yang siqah, tetapi orang-orang yang siqah lainnya tidak meriwayatkan hadis itu. Pendapat ini dikemukakan oleh al-Hakim al-Naisaburi.
- Hadis yang sanadnya hanya satu buah saja, baik periwayatnya bersifat siqah atau tidak. Pendapat ini dikemukakan Abu Ya’la al-Khalili.
Dari ketiga pendapat itu, maka pendapat Syafi’i lebih banyak di pakai oleh
ulama ahli hadis sampai saat ini. Berdasarkan pendapat Syafi’i tersebut, maka
dapat ditegaskan bahwa kemungkinan suatu sanad menggandung syaz
bila sanad yang diteliti lebih dari satu buah. Hadis yang hanya memiliki
satu buah sanad saja tidak dikenal adanya kemungkinan mengandung syad.
Salah satu langkah penelitian yang sangat penting untuk meneliti kemungkinan
adanya syad suatu sanad hadis ialah dengan membanding-bandingkan
semua sanad yang ada untuk matan yang topik pembahasannya sama
atau memiliki segi kesamaan.
b.
Pengertian
Sanad
Kata sanad atau as-sanad menurut bahasa, dari sanada,
yasnudu yang berati mutamad (sandaran/tempat bersandar, tempat berpegang, yang
dipercaya atau yang sah). Dikatakan demikian karena, karena hadist itu
bersandar kepadanya dan dipegangi atas kebenaranya.
Secara temionologis,difinisi sanad iyalah : ” silsilah orang-orang yang mehubungkan kepada matan hadis”.
Secara temionologis,difinisi sanad iyalah : ” silsilah orang-orang yang mehubungkan kepada matan hadis”.
Silsilah orang maksudnya, ialah susunan atau rangkaian orang-orang yang meyampaikan materi hadis tersebut, sejak yang disebut pertama sampai kepada Rasul SAW, yang perbuatan, perkataan, taqrir, dan lainya merupakan materi atau matan hadits. Dengan pegertian diatas maka sebutan sanad hanya berlaku pada serangkaian orang-orang bukan dilihat dari sudut pribadi secara perorangan.
Artinya:
“Dikhabarkan kepada kami oleh Malik yang menerimanya dari Nafi, yang menerimanya dari Abdullah ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah sebagian dari antara kamu membeli barang yang sedang dibeli oleh sebagian yang lainnya. ” (Al-Hadis)
“Dikhabarkan kepada kami oleh Malik yang menerimanya dari Nafi, yang menerimanya dari Abdullah ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah sebagian dari antara kamu membeli barang yang sedang dibeli oleh sebagian yang lainnya. ” (Al-Hadis)
Dalam hadis tersebut dinamakan sanad adalah:
(Dikhabarkan kepada kami oleh Malik yang menerimanya dari nafi yang menerimanya dari Abdullah ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda:…)
c.
Pengertian Matan
Matan dari segi
bahasa artinya membelah, mengeluarkan, mengikat. Sedangkan menurut istilah ahli
hadis, matan yaitu:
(perkataan yang disebut pada akhir sanad, yakni sabda Nabi SAW yang disebut sesudah habis disebutkan sanadnya) .
Yang dimaksud
dengan matan Hadist ialah pembicaraan (kalam) atau materi berita yang di over
oleh sanad yang terakhir. Baik pembicaraan itu sabda Rasulullah S.A.W. shahabat
ataupun tabi`in. Baik isi pembicaraan itu tentang perbuatan Nabi, maupun
perbuatan shahabat yang tidak disanggah oleh Nabi. Misalnya perkataan sahabat
Anas bin Malik r.a.:
كنا نصلى مع ر
سو ل ا اللة صلعم فى شد ة الحر فاءذا لم يستطىع ا حد نا ان يىمكن جبهته
من
زالارض بسط ثو به فسجد عليه.
“Kami
bersembahyang bersama-sama Rosulullah S.A.W. pada waktu udara sangat panas.
Apabila salah seorang dari kami tak sanggup menekankan dahinya diatas tanah,
maka ia bentangkan pakaiannya, lantas sujud diatasnya.”
Perkataan
Sahabat yang menjelaskan perbuatan salahseorang sahabat yang tidak disanggah
Nabi ( (كنا- فسجد علي disebut Matan hadis.[5]
Contoh matan
hadis sebagai berikut:
عن ابى هر يرة
رضى ا لله عنه قال قال ر سو ل ا لله صلعم : نعمتا ن مغبو ن فيهما كثير
من النا س:ا اصحة و الفراع.(ا لبخا رى)
Yang
bergarisbawah dalam hadist diatas adalah Matan.
Jadi matan bisa disebut dengan lafdul hadist atau
isi dari suatu hadist.
d.
Pengertian Dhabit
Secara harfiah, dhabit mempunyai beberapa arti, diantaranya: yang
kokoh, yang kuat, yang ketat, yang hafal dengan sempurna.
Pengertian tersebut diserap dalam pengertian istilah dengan dihubungkan
dengan kapasitas intelektual. Ulama hadis memang berbeda pendapat dalam memberi
pengertian istilah kata dhabit, namun perbedaan itu dengan memberi
rumusan sebagai berikut:
Periwayat yang bersifat dhabit adalah periwayat yang hafal dengan
sempurna hadis yang diterimanya, dan mampu menyampaikan dengan baik hadis yang
dihafalnya itu kepada orang lain.
Periwayat yang bersifat dhabit adalah sifat selain yang telah
disebutkan di atas, juga dia mampu memahami dengan baik hadis yang dihafalnya
itu.
Rumusan tentang dhabit yang disebutkan pada butir kedua lebih
sempurna dari pada rumusan yang pertama. Rumusan yang pertama merupakan
kriteria sifat dhabit dalam arti yang lebih luas, sedang rumusan yang
kedua merupakan sifat dhabit khusus bagi periwayat dhabit. Selain
kedua hal di atas, dikenal juga istilah khafif al-dhabt, istilah yang
disebutkan terakhir itu bersifatkan kepada periwayat yang kualitas hadisnya
digolongkan kepada hasan.
Ketiga macam dhabit di atas oleh ulama hadis digolongkan pada dhabit
sadr (arti harfiahnya: dabt pada dada). Selain dabt sadr,
dikenal juga istilah dabt kitab, yakni sifat yang dimiliki oleh
periwayat yang memahami dengan sangat baik tulisan hadis yang termuat dalam
kitab yang ada padanya dan tulisan dalam kitab itu mengandung kesalahan.
Adapun pengertian dhabit menurut
istilah, telah dikemukakan oleh ulama dalam berbagai format bahasa, antara lain
sebagai berikut :
- Menurut Ibnu Hajar al-Asqalaniy dan al-Sahawiy yang disebut orang dhabit adalah orang yang kuat hafalannya tentang apa-apa yang didengarnya dan mampu menyampaikan hafalanya itu kapan saja dia menghendakinya.
- Dhabit adalah orang yang mendengarkan pembicaraan sebagaimana seharusnya, dia memahami pembicaraan itu secara benar, kemudian dia menghafalnya dengan sungguh-sungguh dan dia berhasil hafal dengan sempurna, sehingga dia mampu menyampaikan hafalannya itu kepada orang lain dengan baik.
- Dhabit ialah orang yang mendengarkan riwayat sebagaimana seharusnya, dia memahaminya dengan pemahaman yang mendetail kemudian dia menghafalnya dengan sempurna, dan dia meyakini kemampuan yang demikian itu, sedikitnya mulai dari saat mendengar riwayat itu sampai dia menyampaikan riwayat tersebut kepada orang lain.
e.
Pengertian Siqah
Tsiqah berasal
dari kata kerja watsiqa yatsiqu yang berarti “mengikat, meneguhkan dan
mempercayai (orang lain dalam memegang amanat).” Dari kata ini, lahir kata
mitsaq yang bermakna “ikatan perjanjian yang sangat kokoh.” Seorang laki-laki
(atau perempuan) tsiqat artinya “orang yang kokoh dan terpercaya dalam memegang
amanat”.( ) Jadi tersimpan kesan hiperbolik dalam makna etimologis kata ini,
yakni bukan hanya sekedar “terpercaya”, melainkan “sangat terpercaya”. Oleh
karena itu, sebagian ahli hadits, misalnya Abdurahman bin Mahdi, menempatkan
istilah ini di posisi puncak penilaian terhadap seorang perawi, meskipun
mayoritas ahli hadis tidak mendukung pendapat ini. Ketika ditanya penilaiannya
terhadap Abu Khaldah, “Tsiqat-kah ia?”, Ibn Mahdi menjawab, “Ia orang baik,
jujur dan terpercaya. (Orang yang mencapai derajat) tsiqat hanya Sufyan dan
Syu’bah.”
Secara istilah (terminologis), ahli hadis menggunakan kata ini untuk menunjukkan penilaian baik mereka terhadap orang yang memiliki reputasi kesalehan pribadi (‘adalah) dan sistem dokumentasi (dhabth) yang sempurna. Mereka tidak menerima orang yang hanya memiliki syarat pertama (‘adalah) jika tidak memiliki syarat kedua (dhabth), begitu juga sebaliknya. Kedua syarat ini harus terpenuhi hingga seorang perawi hadis berhak memperoleh predikat tsiqat dari ahli hadis.
Imam Malik berkata, “Aku menemukan di bawah tiang ini (ia menunjuk ke masjid Nabi saw) beberapa syeikh berusia 70-80 tahun, mereka berkata, “Rasulullah Saw bersabda…” namun aku tidak pernah mengambil hadis darinya. Andai salah satu dari mereka dititipkan harta, mereka sangat terpercaya. Namun mereka bukan tokoh ilmu ini (hadis).” Ali bin Al-Madini berkata tentang Hasan bin Abi Ja’far, “Aku meninggalkan hadisnya karena ia memukul ibunya.”
download ebook gratis : https://za.gl/G9YyV8
Konsep Siqah Dalam Ilmu Hadits
KONSEP TSIQAH DALAM ILMU HADITS
Otentisitas dan kredibilitas teks sejarah banyak
bergantung kepada kapabilitas seorang ejarahwan dalam verifikasi dan validasi
teks. Dalam ilmu hadis, relasi teks sejarah (dalam hal ini hadis yang
diriwayatkan) dan sejarahwan (perawi hadis) sedemikian erat hingga penilaian
kesahihan sebuah hadis sangat bergantung kepada penilaian obyektif tentang
masing-masing personal yang tercantum dalam rantaian transmisinya. Semakin
tinggi kapabilitas orang-orang ini semakin tinggi pula nilai hadis yang mereka
riwayatkan, begitu juga sebaliknya.
Metode ini bermula ketika Al-Qur’an
memerintahkan orang-orang beriman untuk tidak mudah percaya kepada setiap
informasi yang mereka dengar dan keharusan untuk selalu melakukan verifikasi (tabayun)
terlebih dahulu, terutama jika informasi itu bersumber dari seseorang yang
kepribadiannya tidak meyakinkan untuk dipercayai (fasiq). Kemudian terjadi
peristiwa hitam (fitnah) pembunuhan Khalifah Usman bin Affan disusul dengan
integrasi sebagian kalangan yang mencoba memecah belah kesatuan umat. Pada saat
ini timbul upaya manipulasi sejarah Islam demi target-target politis tertentu,
dan memalsukan hadis Nabi Saw merupakan cara yang paling menonjol pada saat
itu. Ibn Sirin, salah seorang tabiin, berkata, “Sebelumnya mereka tidak
bertanya tentang sanad. Setelah peristiwa fitnah itu mereka berkata: sebutkan
para perawinya. Mereka lalu menerima riwayat ahli Sunnah dan menolak riwayat
ahli bid’ah.”
Sejak saat itu, perhatian kepada rantaian sanad bertambah tinggi apalagi
mereka sadar bahwa hadis Nabi Saw merupakan teks kedua pembentuk sendi-sendi
akidah dan syariah agama Islam. Abdullah bin Mubarak berkata, “Sanad adalah
bagian dari agama. Tanpa sanad sembarang orang bisa berkata sembarang ucapan.”
Mereka hanya menerima riwayat yang bersumber dari orang-orang terpercaya atau
apa yang mereka sebut dengan istilah tsiqat. Muhammad bin Yahya Az-Zuhli
berkata, “Sebuah hadis tidak boleh dicatat kecuali hadis yang diriwayatkan oleh
tsiqat dari tsiqat hingga Rasulullah Saw, (dalam rangkaian sanadnya) tidak ada
orang yang tidak dikenal (majhul) ataupun yang tercela (majruh).”
1.Tsiqah Secara Bahasa dan Istilah
Tsiqat berasal dari kata kerja watsiqa yatsiqu yang berarti “mengikat, meneguhkan dan mempercayai (orang lain dalam memegang amanat).” Dari kata ini, lahir kata mitsaq yang bermakna “ikatan perjanjian yang sangat kokoh.” Seorang laki-laki (atau perempuan) tsiqat artinya “orang yang kokoh dan terpercaya dalam memegang amanat”.( ) Jadi tersimpan kesan hiperbolik dalam makna etimologis kata ini, yakni bukan hanya sekedar “terpercaya”, melainkan “sangat terpercaya”. Oleh karena itu, sebagian ahli hadits, misalnya Abdurahman bin Mahdi, menempatkan istilah ini di posisi puncak penilaian terhadap seorang perawi, meskipun mayoritas ahli hadis tidak mendukung pendapat ini. Ketika ditanya penilaiannya terhadap Abu Khaldah, “Tsiqat-kah ia?”, Ibn Mahdi menjawab, “Ia orang baik, jujur dan terpercaya. (Orang yang mencapai derajat) tsiqat hanya Sufyan dan Syu’bah.”
Tsiqat berasal dari kata kerja watsiqa yatsiqu yang berarti “mengikat, meneguhkan dan mempercayai (orang lain dalam memegang amanat).” Dari kata ini, lahir kata mitsaq yang bermakna “ikatan perjanjian yang sangat kokoh.” Seorang laki-laki (atau perempuan) tsiqat artinya “orang yang kokoh dan terpercaya dalam memegang amanat”.( ) Jadi tersimpan kesan hiperbolik dalam makna etimologis kata ini, yakni bukan hanya sekedar “terpercaya”, melainkan “sangat terpercaya”. Oleh karena itu, sebagian ahli hadits, misalnya Abdurahman bin Mahdi, menempatkan istilah ini di posisi puncak penilaian terhadap seorang perawi, meskipun mayoritas ahli hadis tidak mendukung pendapat ini. Ketika ditanya penilaiannya terhadap Abu Khaldah, “Tsiqat-kah ia?”, Ibn Mahdi menjawab, “Ia orang baik, jujur dan terpercaya. (Orang yang mencapai derajat) tsiqat hanya Sufyan dan Syu’bah.”
Secara istilah (terminologis), ahli hadis menggunakan kata ini untuk menunjukkan penilaian baik mereka terhadap orang yang memiliki reputasi kesalehan pribadi (‘adalah) dan sistem dokumentasi (dhabth) yang sempurna. Mereka tidak menerima orang yang hanya memiliki syarat pertama (‘adalah) jika tidak memiliki syarat kedua (dhabth), begitu juga sebaliknya. Kedua syarat ini harus terpenuhi hingga seorang perawi hadis berhak memperoleh predikat tsiqat dari ahli hadis.
Imam Malik berkata, “Aku menemukan di bawah tiang ini (ia menunjuk ke masjid Nabi saw) beberapa syeikh berusia 70-80 tahun, mereka berkata, “Rasulullah Saw bersabda…” namun aku tidak pernah mengambil hadis darinya. Andai salah satu dari mereka dititipkan harta, mereka sangat terpercaya. Namun mereka bukan tokoh ilmu ini (hadis).” Ali bin Al-Madini berkata tentang Hasan bin Abi Ja’far, “Aku meninggalkan hadisnya karena ia memukul ibunya.”
2.‘Adalah
Ahli hadis menganalogikan penerimaan riwayat dengan penerimaan saksi dalam kasus perdata ataupun pidana. Seorang perawi hadis, seperti seorang saksi, harus memiliki syarat-syarat tertentu agar periwayatan atau persaksiannya diterima di depan hakim. Al-Khatib Al Baghdadi menulis, “Karena sebagian besar hukum tidak bisa diketahui kecuali melalui naql, maka kita harus meneliti keadaan dan keadalahan penyampainya. Barangsiapa orang yang diakui ‘adalah-nya, maka riwayatnya bisa diterima. Jika tidak, maka kita harus mencari dari jalur periwayatan yang lain. Penyampaian berita hukumnya seperti sebuah persaksian (yaitu keduanya) hanya diterima dari orang yang terpercaya.”
Ahli hadis menganalogikan penerimaan riwayat dengan penerimaan saksi dalam kasus perdata ataupun pidana. Seorang perawi hadis, seperti seorang saksi, harus memiliki syarat-syarat tertentu agar periwayatan atau persaksiannya diterima di depan hakim. Al-Khatib Al Baghdadi menulis, “Karena sebagian besar hukum tidak bisa diketahui kecuali melalui naql, maka kita harus meneliti keadaan dan keadalahan penyampainya. Barangsiapa orang yang diakui ‘adalah-nya, maka riwayatnya bisa diterima. Jika tidak, maka kita harus mencari dari jalur periwayatan yang lain. Penyampaian berita hukumnya seperti sebuah persaksian (yaitu keduanya) hanya diterima dari orang yang terpercaya.”
Persamaan antara periwayatan dan persaksian tidak sepenuhnya sempurna. Ada point-point tertentu yang membedakan keduanya sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Asy-Syafii di kitab Al-Risalah.
Kriteria ‘adil menurut ahli hadits adalah orang yang muslim, merdeka, tidak melakukan dosa besar dan tidak terus menerus melakukan dosa kecil. Imam Syafii ditanya, “siapakah ‘adil itu?”, beliau menjawab, “Tidak ada orang yang selamat sama sekali dari maksiat, namun jika seseorang tidak melakukan dosa besar dan kebanyakan amalnya baik maka dia ‘adil.
3.Dhabth
‘Adalah saja tidak cukup untuk menjadikan seseorang diterima riwayatnya, namun disyaratkan agar riwayat seseorang diterima sifat dhabth. Dhabth adalah kapabilitas seseorang dalam menyampaikan hadits seperti yang ia terima tanpa perubahan sedikitpun. Untuk mengetahui tingkat dhabth seorang perawi, ahli hadits memiliki metode verifikasi riwayat yang mereka namakan dengan i’tibar. Metode ini terdiri dari dua tahap: pertama mengumpulkan semua hadits yang diriwayatkan seorang perawi tanpa meninggalkan satu hadits pun. kedua membandingkan setiap hadits yang ia riwayatkan itu dengan riwayat orang-orang tsiqah. Nilai ke-tsiqatan perawi ini diberikan sesuai dengan tingkat kesesuaian riwayatnya dengan riwayat mereka. Jika semua riwayatnya, atau sebagian besarnya, sesuai dengan riwayat mereka maka ia dinilai tsiqah. Jika semua diriwayatnya, atau sebagian besarnya, bertentangan dengan riwayat mereka maka ia dinilai tidak tsiqah (dhaif).
‘Adalah saja tidak cukup untuk menjadikan seseorang diterima riwayatnya, namun disyaratkan agar riwayat seseorang diterima sifat dhabth. Dhabth adalah kapabilitas seseorang dalam menyampaikan hadits seperti yang ia terima tanpa perubahan sedikitpun. Untuk mengetahui tingkat dhabth seorang perawi, ahli hadits memiliki metode verifikasi riwayat yang mereka namakan dengan i’tibar. Metode ini terdiri dari dua tahap: pertama mengumpulkan semua hadits yang diriwayatkan seorang perawi tanpa meninggalkan satu hadits pun. kedua membandingkan setiap hadits yang ia riwayatkan itu dengan riwayat orang-orang tsiqah. Nilai ke-tsiqatan perawi ini diberikan sesuai dengan tingkat kesesuaian riwayatnya dengan riwayat mereka. Jika semua riwayatnya, atau sebagian besarnya, sesuai dengan riwayat mereka maka ia dinilai tsiqah. Jika semua diriwayatnya, atau sebagian besarnya, bertentangan dengan riwayat mereka maka ia dinilai tidak tsiqah (dhaif).
Meriwayatkan sesuatu yang bertentangan dengan riwayat
orang yang lebih tsiqah atau lebih banyak jumlahnya adalah sebuah kesalahan
yang memberikan nilai negatif bagi dhabth-nya di mata ahli hadits. Pertentangan
dalam riwayat yang dapat mendhaifkan perawi itu adalah:
Pertama:
Me-rafa’ Hadits yang Mawquf.
Contohnya: Abdurahman bin Abi Laila meriwayatkan dari Atha dari Ibn Abbas bahwa Nabi Saw mengucapkan talbiah dalam umrah hingga mengusap rukun ka’bah.
Demikian riwayat Ibn Abi Laila dengan marfu’ bahwa perbuatan ini dilakukan oleh Rasulullah Saw. Sementara itu, imam-imam ahli Mekah seperti Ibn Juraij, Abdul Malik bin Abi Sulaiman dan Hammam meriwayatkan hadits ini dari Atha dari Ibn Abbas tanpa menyebutkan Nabi Saw, yakni hadits ini mawquf perbuatan Ibn Abbas, bukan perbuatan Nabi Saw.
Ini menunjukkan bahwa Ibn Abi Laila keliru dalam riwayatnya sebab orang-orang yang lebih tsiqah dan jumlah mereka lebih banyak meriwayatkan hadist ini berbeda dengan riwayatnya. Me-rafa’ hadits mawquf dinilai sebagai sebuah kesalahan menurut ahli hadits sebab menjadikan sebuah ucapan atau perbuatan yang seharusnya dinisbahkan kepada seorang sahabat menjadi ucapan Nabi Saw. Kita diwajibkan menaati Rasulullah Saw namun kita tidak wajib menaati ucapan sahabat.
Al-Baihaqi berkata, “Merafa hadits ini salah. Ibn Abi
Laila memang sering keliru dalam meriwayatkan hadits.”
Kedua: Menyambung
Hadits yang Mursal.
Mirip dengan kesalahan yang pertama tadi jika seorang perawi menyambung sanad hadits yang diriwayatkan sekelompok perawi lain dengan terputus (washl al-mursal). Seperti yang dilakukan oleh Abdul Wahab At-Tsaqafi yang meriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad Ash-Shadiq dari bapaknya (Muhammad bin Ali Al-Baqir) dari Jabir ra bahwa Nabi Saw menetapkan hukum dengan satu saksi dan satu sumpah. Begitulah Ats-Tsaqafi meriwayatkan hadits ini dengan sanad bersambung (muttasil). Sementara Malik, Ibn Juraij, Sufyan Al-Tsauri, Abdul Aziz Al-Darawardi dan lain-lain meriwayatkan hadits ini dari Ash-Shadiq dari bapaknya dari Nabi Saw tanpa menyebut Jabir. Muhammad Al-Baqir dari seorang tabi’i, maka riwayatnya dari Nabi Saw disebut mursal. Semua ulama sepakat bahwa hadits muttashil boleh menjadi hujjah, sementara mereka berselisih apakah mursal hujjah atau tidak. Mayoritas ahli hadits tidak menerimanya menjadi hujjah.
Perselisihan ini menunjukkan bahwa Ats-Tsaqafi keliru dalam meriwayatkan
hadits ini. Asy-Syafii mengomentari hadits Ats-Tsaqafi, “Para huffaz tidak
menyebut Jabir, ini menunjukkan bahwa hadits ini keliru.” Begitu juga yang
dikatakan oleh Ahmad bin Hanbal, Al-Bukhari, Al-Tirmidzi, al-Uqaili dan
lain-lain.
Ketiga: Keliru
Menentukan Nama
Termasuk kesalahan yang dapat mengurangi nilai seorang perawi di mata ahli hadits adalah jika ia keliru meriwayatkan hadits dari seorang perawi ke perawi yang lain. Seperti yang dilakukan oleh Fahd bin Hayyan yang meriwayatkan dari Hisyam Ad-Dastawai dari Qatadah dari Anas dari Nabi Saw bersabda, “Seorang muslim seperti pohon padi. Kadang tegak, kadang menunduk.” Ibn Hibban berkata, “Ini keliru, seharusnya dari Qatadah dari Jabir.”
Jika kekeliruan-kekeliruan seperti ini banyak terjadi di hadits-hadits yang diriwayatkan seorang perawi, maka ahli hadits menilainya dhaif. Jika kekeliruan mendominasi semua, atau sebagian besar hadits-haditsnya, maka ahli hadits memberinya label matruk (harus ditinggalkan).
Sufyan Al-Tsauri berkata, “Tidak ada seorangpun yang selamat dari kekeliruan. Namun jika kelirunya terlalu banyak, sehingga mayoritas riwayatnya keliru, maka riwayat orang ini harus ditinggalkan.” Imam Asy-Syafii berkata, “Perawi hadits yang terlalu banyak salahnya dan ia tidak memiliki kitab catatan, maka kami tidak menerima haditsnya, sebagaimana kami tidak menerima seorang saksi yang terlalu sering keliru dalam persaksiannya.”
Keempat: Kekeliruan Fatal
Kesalahan-kesalahan seperti yang telah disebutkan di atas dianggap kesalahan kecil, dalam arti para pelakunya hanya dikritik telah melakukan kesalahan namun tidak dituduh berdusta. Ada kesalahan-kesalahan tertentu yang dilihat oleh ahli hadits sebagai kesalahan yang tak termaafkan. Setiap orang yang melakukan kesalahan ini tanpa ragu-ragu mereka tuduh sebagai pendusta. Kesalahan fatal itu adalah meriwayatkan dari seorang imam yang memiliki ribuan murid sesuatu yang tidak diriwayatkan oleh murid-muridnya yang lain. Yakni, ia bersendiri (tafarrada) dengan meriwayatkan sebuah hadits dari seorang imam tanpa ada orang lain yang mendukungnya.
Syu’bah bin Hajjaj ditanya, “Kapan seorang perawi haditsnya tidak boleh dicatat?” Syu’bah menjawab, “Jika ia meriwayatkan dari orang yang terkenal sesuatu yang tidak dikenal oleh orang-orang (maksudnya murid-murid orang itu) yang terkenal, maka haditsnya harus dibuang.”
Contoh: Furat bin Zuhair meriwayatkan dari Malik bin Anas berkata: Ibuku menceritakan kepadaku dari Ummi ‘Alqamah dari ‘Aisyah bahwa Nabi Saw bersabda, “Pencuri adalah orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya, maka bunuhlah ia. Jika kamu takut berdosa (karena membunuhnya), maka dosa itu aku yang menanggungnya.”
Malik bin Anas seorang imam yang memiliki murid ribuan orang atau lebih,
namun tidak ada seorangpun dari mereka yang meriwayatkan hadits ini selain
Furat bin Zuhair. Ahli hadits melihat hal ini sebagai isyarat kuat bahwa Furat
telah berdusta atas nama Imam Malik. Oleh karena itu Ibn Hibban berkata, “Furat
bin Zuhair meriwayatkan dari Malik bin Anas hadits-hadits yang tidak pernah
diriwaytakan oleh Malik sedikitpun. Tidak halal meriwayatkan haditsnya dan
tidak boleh berhujjah dengannya.”
Penutup
Sebenarnya masih banyak lagi kesalahan-kesalahan yang dapat menurunkan derajat seorang perawi di mata ahli hadits dari seorang yang tsiqah hingga menjadi dhaif. Namun waktu tidak tersedia untuk menjabarkan itu semua pada saat ini.
*Artikel ini ditulis oleh: Umar M. Noor, dan disampaikan untuk kajian ilmu hadits yang dikelola oleh Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PCI NU Syria Libanon pada tanggal 4 Mei 2007 dan direposting dalam: http://moslemz.multiply.com/journal/item/5
Pengertian Sanad Dan Matan Hadits
- Pengertian Sanad Hadist
Sanad dari segi bahasa berarti مَاارتفع من الارض ,yaitu bagian bumi yang
menonjol, sesuatu yang berada di hadapan Anda dan yang jauh dari kaki bukit
ketika anda memandangnya. Bentuk jamaknya adalahأ سنا د. Segala sesuatu yang
Anda sandarkan kepada yang lain disebutمسند. Dikatakan أ سند فى ا لخبل,
maknanya `Sesorang mendaki gunung`. Dikatakan pula ن سند فلا , maknanya
`Seseorang menjadi tumpuan`.[1]
Adapun tentang pengertian sanad menurut terminology, para ahli hadis
memberikan definisi yang beragam, di antaranya:
ا لطر ىقة ا لمو صلة إ لى لمتنَ
Jalan yang menyampaikan kepada matan hadis
yakni rangkaian para perawi yang memindahkan matan dari sumber
primernya. Jalur ini adakalanya disebut sanad, adakalanya karenanya
periwayat bersandar kepadanya dan menisbatkan matan kepada sumbernya.
Sebuah hadis dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur atau
perawi bervariasi dalam lapisan sanad-nya, lapisan dalam sanad
disebut dengan thabaqoh.signifikansi jumlah sanad dan penutur
dalam tiap thobaqoh sanad akan menentukan derajat hadist tersebut.
Jadi, yang perlu dicermati dalam memahami hadis terkait dengan sanad-nya
adalah keutuhan sanad-nya, jumlahnya, dan perawi akhirnya. Adapun
sebutan sanad hanya berlaku pada serangkaian orang, bukan dilihat dari sudut
pribadi seseorang. Sebutan untuk pribadi yang menyampaikan hadist dilihat dari
sudut orang per-orangan disebut rawi.[2]
- Tinggi-Rendahnya Rangkaian Sanad (Silsilah adz-Dzahab)
Sebagaimana kita ketahui, bahwa suatu hadis sampai kepada kita,tertulis
kepada kitab hadis melalui sanad-sanad. Rangkaian sanad yang berderajat
tinggi menjadikan suatu hadis lebih tinggi derajatnya daripada hadis yang
rangkaian sanadnya sedang atau lemah. Para muhadditsin[3] membagi
tingkatan sanadnya sebagai berikut:
a) Ashahhu as-Asanid (sanad-sanad yang lebih
shahih)
Penilaian ashahhu al-sanid ini hendaklah secara muqoyyad (di khususkan).
Contoh asahhu al-asanid yang muqoyyad tersebut adalah :
- Sahabat tertentu, yaitu :
- Umar ibnu al-Khattab r.a.,yaitu yang diriwayatkan oleh Ibnu Syihab az-Zuhri dari Salim bin `Abdullah bin Umar, dari ayahnya (Abdullah bin Umar), dari kakeknya (Umar bin Khattab).
- Penduduk kota tertentu, yaitu:
- Kota Mekkah, yaitu diriwayatkan oleh Ibnu Uyainah dari Amru bin Dinar dari Jabir bin Abdullah.
b) Ahsanu al-Asanid
Derajatnya lebih rendah dar Ashahhu as-Asanid,yaitu:
- Bahaz bin Hakim dari ayahnya (Hakim bin Muawiyah) dari kakeknya (Muawiyah bin Haidah).
c) Adh`afu al-Asanid
Rangkaian sanad yang paling rendah derajatnya, antara lain:
- Abu Bakar ash-Shiddiq, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Shodaqoh bin Musa dari Aby Ya`qub Farqab bin Ya`qub dari Murrah ath-Thayyib dari Abu Bakar r.a.
- Kota Yaman ialah yang diriwayatkan oleh Hafs bin `Umar dari al-Hakam bin Aban dari Ikrimah dari Ibnu Abbas.
- Jenis-jenis Sanad Hadis
- Sanad Aly
Sanad Aliy adalah sanad yang jumlah perawinya lebih sedikit jika
dibandingkan dengan sanad lain.sanad Aly jumlahnya dibagi dua :
Sanad Ali bersifat Mutlak
Sanad Aly bersifat Nisbi
- Sanad Nazil
Sanad Nazil adalah sebuah sanad jumlah rawinya lebih banyak jika
dibandingkan dengan sanad yang lain. Hadist dengan sanad yang lebih banyak akan
tertolak dengan sanad yang sama jika rawinya lebih sedikit[4].
- B. Matan Hadist
Secara etimologis, matan berarti segala sesuatu yang keras bagian atasnya,
pungung jalan (muka jalan), tanah keras yang tinggi. Adapun yang dimaksud matan
dalam ilmu hadist adalah perkataan yang disebut pada akhir sanad.
Yang dimaksud dengan Matnu`l Hadist ialah pembicaraan (kalam) atau materi
berita yang di over oleh sanad yang terakhir. Baik pembicaraan itu sabda
Rasulullah S.A.W. shahabat ataupun tabi`in. Baik isi pembicaraan itu tentang
perbuatan Nabi, maupun perbuatan shahabat yang tidak disanggah oleh Nabi.
Misalnya perkataan sahabat Anas bin Malik r.a.:
كنا نصلى مع ر سو ل ا اللة صلعم فى شد ة الحر فاءذا لم يستطىع ا حد نا ان
يىمكن جبهته من
زالارض بسط ثو به فسجد عليه.
“Kami bersembahyang bersama-sama Rosulullah S.A.W. pada waktu udara sangat
panas. Apabila salah seorang dari kami tak sanggup menekankan dahinya diatas
tanah, maka ia bentangkan pakaiannya, lantas sujud diatasnya.”
Perkataan Sahabat yang menjelaskan perbuatan salahseorang sahabat yang
tidak disanggah Nabi ( (كنا- فسجد علي disebut Matan hadis.[5]
Contoh matan hadis sebagai berikut:
عن ابى هر يرة
رضى ا لله عنه قال قال ر سو ل ا لله صلعم : نعمتا ن مغبو ن فيهما كثير
من النا س:ا اصحة و الفراع.(ا لبخا رى)
Yang bergarisbawah dalam hadist diatas adalah Matan.
Jadi matan bisa disebut dengan lafdul hadist atau
isi dari suatu hadist.
- C. Skema Sanad
Sanad atau thariq, ialah jalan yang menghubungkan matan hadis kepada
junjungan kita Nabi Muhammad S.A.W. skema sanad dapat di gambarkan melalui
hadis berikut:
حد ثنا محمد بن ا لثنى قال : حد ثنا عبد الو ها ب الثقف قال : حد ثنا أيوب عن
أبى قلا بة عن أنس عن نبى صلعم: (ثلا ث من كن فيه وجد حلا وة الاءيمان :ان يكون
الله ورسوله أحب إليه مما سواهما : وان يحب المرأ لايحبه إلا لله ؛ وأيكره أن يعود
فى الكفر كما يكره أن يقذف فى النار). (رواه البخرى)
“Telah memberitakan kepadaku Muhammad bin nal-Mutsanna,ujarnya:”Abdul
Wahhab ats-Tsaqofy telah mengabarkan kepadaku Ayyub atas pemberitaan Aby
Qilabah dari Anas dari Muhamad S.A.W. sabdanya:”Tiga perkara, yang barang siapa
mengamalkannya niscaya memperoleh kelezatan iman.” Yakni: 1).Allah dan Rasulnya
hendaknya lebih dicintai daripada selainnya. (2). Kecintaannya kepada
seorang,tak lain karena Allah semata-mata dan (3). Keengganannya kembali kepada
kekufuran,seperti keengganannya dicampakkan ke neraka.”(Riwayat bukhory)
Maka matan hadis adalah (ثلا ث من كن فيه وجد حلا وة الاءيمان :ان يكون
الله ورسوله أحب إليه مما سواهما : وان يحب المرأ لايحبه إلا لله ؛ وأيكره أن يعود
فى الكفر كما يكره أن يقذف فى النار)
Dan urutan sanad pertama adalah Muhammad ibnu Mutsanna sanad
yang kedua Abdul Wahhab ats-Saqofy, yang ketiga Ayyub,yang
keempat Aby Qilabah, dan sanad terakhir Anas.
Dalam hal lain juga dapat dikatakan bahwa sabda Nabi tersebut disampaikan
oleh sahabat Anas r.a. sebagai rawy pertama, kepada Abu Qilabah
sebagai rawy kedua, kepada Ayyub sebagai rawy ketiga, kepada Abdul
Wahhab ats-Saqofy sebagai rawy keempat, kepada Muhammad bin Musanna
sebagai rawy kelima dan yang terakhir al-Bukhary.
Contoh lain hadis yang diriwayatkan Ibnu `Adyy:
حد ثنا يعقوب بن سفيان بن عا صم, حد ثنا محمد بن عمران, حد ثنا عيسى بن زياد,
حدثنا عبد الرحيم بن ز يد عن أبيه عن سعيد بن المسب عن عمر بن الخطاب, قال:قال
رسولالله صلعم: لولا النساء لَعُبِدَ الله حَقًا
Urutan sanad dari pertama adalah : Ya`qub bin Sufyan bin `Asim
Muhammad bin `Imran
Isa bin Ziyad `Abdurrahim
bin Zayid
Aby Sa`id bin
Musayyab Umar bin
Khattab.
Didalam bidang ilmu Hadis sanad merupakan alat untuk mengukur shahih atau
dhaifnya suatu hadist. Jika salahseorang dalam sanad-sanad itu ada yang fasik
atau yang tertuduh dusta maka, dhaiflah hadist itu, hingga tidak dapat
dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu hadist kecuali hanya untuk diamalkan.
- D. Isnad, Musnid dan Sanad
Isnad menurut bahasa, menyandarkan. Menurut istilah ialah menerangkan sanad
Hadis (jalan menerima hadis). Sedangkan orang yang menerangkan hadis dengan
menyebut sanad-nya, dinamai musnid. Dan hadis yang disebut dengan diterangkan
sanadnya yang sampai kepada Nabi S.A.W. dinamai musnad.
BAB III
PENUTUP
- A. KESIMPULAN
Sanad menurut bahasa berarti sandaran, tempat kita bersandar. Menurut
istilah Muhaddisin, sanad ialah jalan yang menyampaikan kita ke matan hadis.
Sedangkan matan menurut bahasa punggung jalan (muka jalan), tanah yang
keras dan tinggi. Matan secara istilah adalah suatu redaksi dari hadis atau
sesuatu yang ada setelah sanad terakhir.
DAFTAR PUSTAKA
Rahman,Fathur.Ikhtisara Musthalahul Hadis.PT al-Ma`arif.Bandung:cetakan
pertama 1974.
Ash-Shiddiqy,Tengku Muhammad hasby.Sejarah&Pengantar Ilmu Hadis.Semarang.Pustaka
Rizki Putra:2009.
Thahan,Muhammad.Mushthalahul Hadis.Jeddah Indonesia.al-Haramain:1980.
Solahudin,M.Agus&Agus Suryadi.Ulumul Hadist.Bandung.Pustaka Setia:2011.
- Solahudin,M.Agus&Agus Suryadi.Ulumul Hadist.Bandung.Pustaka Setia.2011.hlm.89.
- Ibid. hlm 92.
- Penamaan untuk para ahli hadis
- Ibid 98.
- Rahman.ikhtisar Musthalahul Hadist.al-Ma`arif.1974.hlm.23.
Langganan:
Postingan (Atom)